Hari ini aku ingin merindumu
Sebisa-bisanya aku
Sebuas-buasnya diriku

Hari ini, ingin aku merindumu
Sepuas-puasnya

Aku ingin tak sengaja bertemu denganmu
Menceritakan seluruh aku yang sekarang
Sambil sesekali meneguk apa-apa yang ada di antara kita

Bercerita tentang aku yang mengingatmu yang dulu-dulu.
Tentang aku yang melihatmu di mata perempuan lain
Melihatmu di bibir wanita lain
Menghirup aroma yang serupa punyamu di antara warung makan yang biasa aku kunjungi

Iya, semoga suatu saat nanti yang entah kapan
Aku ingin tak sengaja bertemu denganmu di manapun
Lalu mengajakmu meneguk susu panas, dan aku kopi, juga panas.
Lalu memanaskan ingatan-ingatan kita yang mendingin.

Musik beralun, jari jari bermain-main dengan gitar
Cerita tentang kawan yang sedang patah hati
Disuarakan sedihnya, pada irama yang mengencangkan otot leher

Lukalah, kawan
Luka menguatkanmu
Bila saja kau tak terbunuh olehnya.

Ada puisi yang lahir dari senyum manismu
Besar dan beranak pinak di kepalaku.

Ada pula puisi yang muncul dari jemari lentikmu
Lalu tertoreh di ingatanku, namamu.

Di sini hujan, deras sekali.
Seperti derasnya saat kita diguyur hujan, itu hari.

Di sini, hujan, angin, dan kepala yang keras
Mengingatmu tak hanya sesaat, di kepalaku, deras.

Lalu, masih deraskah hujan di kotamu?
Masih adakah aku di dalam kepalamu?

Aku ingin menulis puisi
Tapi setiap puisiku itu tentangmu

Lalu kita bisa apa?

Begini sajalah kita
Diam dengan ribut-ribut di kepala
Serupa bumi yang diam kala angin sedang  riuh-riuhnya.

Begini sajalah kita
Diam, tak ada suara
Bila temu tak kunjung tiba di depan pintu, kita diam sajalah.

Lebih baik begini saja
Agar tak ada yang terluka lebih dalam
Aku, pun kamu.

Kepada yang pergi
Merelakan kepergian bukan perkara ringan
Bukan perkara membalikkan tangan dan 
Memperlihatkan telapak tangan yang kosong ke penonton
Bukan pula sekedar melihat punggung seseorang yang pergi, 
Entah ke mana dia.

Kita diajarkan untuk merelakan kepergian
Tapi kita tak pernah diajar 
Bahwa sebelum merelakan kepergian seseorang, 
Tubuh kita harus penuh luka cambuk dulu
Kita tak pernah diajarkan bahwa luka itu kemudian akan menganga begitu lebar, 
Hingga harus butuh jahitan lagi.

Maka ketika kita diajar 
Bahwa kepergian itu butuh menghilangkan keseluruhan rasa pada masa lalu, 
Beberapa dari kita tumbang dari pijakan,
Beberapa tenggelam ke dalam bumi dan tak bisa kembali menghirup udara.

Lalu setelah merelakan kepergian,
Kita pula harus diajar melupakan?
Dua puluh anak berdiri di depan pintu
Bersiap menuliskan ingatan-ingatannya pada kertas penghakiman
Kenangan-kenangan yang sempat direkam
Berdiri lurus menunggu akan dikirim ke mana

“Akan ke manakah kamu?” Tanya penjaga pintu

“Ke tempat di mana buku-buku terbang bebas, pak!” katanya.
Hujankah di kotamu?
Di sini hujan sedang merayakan kebahagiaan
Memeluk daun
Jatuh ke rangkulan laut
Hujankah di kotamu?
To you, wherever you are.
I find you to be my always muse.
Whenever the darkest ways ahead,
i will come back to you, 
to the deepest of your hug,
to the tightness of your kiss,
to the vast expanse of you mind.
To you, the start of my journey as I am today
you are always there at the end of my night and the start of my day.
I stare at the void of the black sky,
I see the reflection of you
in each of the stars,
in each of the breath i take
in each of every wind that blows my worries
in each sound of billows against my sadness.
To you,
i will be here,
waiting.

Followers

Total Pageviews