Aku hadir dalam wujud hujan yang setiap kali rintik diatas rumahmu, mengawasi lelapmu yang sudah tak pernah terjamah olehku. Kau bermimpi, tentang ribuan capung yang terbang mengitari bunga-bunga layu, tentang kupu-kupu yang lemah pada matahari.
Kutatap kau nanar, ada luka yang kau sembunyikan bersama dekapan bantal hangat yang sudah lama tak kusentuh, bantal dengan gambar kijang yang siap diterjang harimau. Kau mengigau, menyebut namaku yang yang sering menari dikepalamu, yang siap meledakkan isi otakmu dengan rindu yang sudah lama kau diamkan, yang kini beranak pinak jadi luka yang membusuk.
Kudekati kau dengan rintik diam, terbang terbawa angin, lewat jendela yang selalu tertutup rapat saat aku bersamamu, jendela penikmat tontonan kita berdua yang terus beradu, bercengkarama dengan bintang yang kau lekatkan diatap kamar tua yang selalu kau cintai. Kau berbalik badan, mungkin menyadari kehadiran yang aku diam-diam hadirkan, kau tersenyum dengan mata tertutup, kau tahu, dalam lelapmupun tahu, itu aku.
Kusentuh kau dari ujung kaki, meluncur dengan deras menuju bibirmu, kecupan hangat tiba-tiba terbayang di senja yang tak pernah lupa akan kehadiran kita. Lihat saja, tetangga bergunjing tentang rindumu dan rinduku yang acap kali tak dipuaskan malam, tak pernah lelah bermimpi tentang biru dalam hujan yang selalu kau sebut.
Ya, kau suka hujan, berlalu mengejar ribuan rintik yang terus mengelus pipimu, berlalu bersama rinai yang tak pernah lelah mengingatkanmu tentang pelangi yang sebentar lagi menghiasi langit.
Hujan, yang menghapus tangismu dimalam saat derai air mata tak bisa lagi kau tampung di mata kecilmu, serupa mata air yang tak mengering, dengan teriakan guntur yang kau sebut isak. Lalu kuucapkan janji yang sempat aku ingkari
“Di senja saat kau sudah berumur seperempat abad, akan kudatangi kau dengan senyum dan kutawarkan persandingan yang takdirpun sudah tak bisa memisahkan aku, kau dan hujan”
Dan kini aku kembali kelangit, bersatu dengan awan yang merindukanku, dan akan rintik lagi saat janji sudah siap kutunaikan.
Masih berdiri disini, 
Menatap rindu yang sempat kau tinggal dengan seribu luka tusuk yang tetap menganga menatapku tajam, 
Ada senja yang juga terluka semalam. 

Sempat berpikir malam akan menyembuhkan luka yang tertinggal,
Dan menunggu pagi yang lalu ingkar janji
Maka aku hanya berharap pada hujan yang setia datang dalam tangis
Dan setiap deraiku jadi bibit-bibit hujan baru
Seteleh hujan lelah berderai di tengah kolam
Akan bergaris pelangi enam warna yang terus memuja
Setelah angin berhenti berkejaran diantara rambutmu
Akan tertinggal sejuk yang bersemayam dianganmu

Setelah rindu memadam di unggun yang mulai melemah
Akan datang bara yang menghangatkan dingin yang tertinggal
Rasa bersama yang tak pernah puas dihabiskan diantara hujan
Akan terus menjadi penghangat malam sebelum ku tidur
Naas bagi sepi, yang tak pernah sempat mengunjungi kita
Gadis kecil, kutunggu kau disini, bersama rindu yang tak pernah puas
Hanya perlu hitungan menit untuk menemukanmu di jejak mimpi
Aku akan menunggumu dengan sisa warna pelangi
Entah, mungkin sampai nanti, sampai kau jadi nyata jadi pelukan tidurku

“Maaf pelangi, warna terakhirnya jadi makhluk terindah dibumi”
Khawatir pada hujan yang terus marah
Mungkin tak henti bila disini terus diam

Berkali-kali hujan marah pada rintik
Yang selalu saja tak pernah jatuh di atap rumahmu

Sempat juga hujan datang bercerita
tentang langit yang terus rindu pada kita

Kapankah kita bisa jadi angin,
lalu bersama terbang, tak terhalang

Kapankah kita jadi air,
Lalu bersembunyi, dari kenangan yang penuh luka

Masih tetap berdegup, khawatir
Mungkin kau sudah tak mau jadi angin dan hujan

Followers

Total Pageviews