Surat ini aku tulis, mungkin kelak akan kau baca,
dan semoga kau tahu surat ini memang aku tujukan untukmu.

            Kusebut dirimu perempuan hujan, karena kau begitu mencintai hujan, dan begitu banyak kisah yang bisa kututurkan pada semua, tentang dirimu dan tentang hujan
            Dulu, aku hanya menikmati hujan, menerobos hujan yang rintik selalu aku nantikan, tapi dulu aku tak pernah merasa jatuh cinta pada hujan. Ya, aku hanya menikmatinya, tidak mencintainya.
       Kau perkenalkan hujan padaku pada malam hari, saat hujan begitu deras jatuh dari langit, kau mengajakku bertemu hujan, lalu bersalaman dengan hujan.
            Suatu waktu kita bersama menerobos hujan di jalan, orang lain berteduh memandang hujan, tapi kita setuju untuk tak hanya memandangnya, kita tertawa, berteriak diantara hujan.
***
            Aku masih mencintaimu, sama seperti dulu,masih sangat sama, namun sadar, kita sudah sudah tak bisa bersama, atau mungkin hanya aku yang masih berharap kebersamaan itu kembali.
            Berkali-kali aku menulis puisi, didalamnya kuselipkan namamu, kau mungkin menyadari sebagian, atau tidak, aku tak benar-benar tahu.
            Tapi, aku tak mau mengganggumu, walau beberapa pesan dariku menyelip tak tertahan, kukirim malam-malam, tapi aku tak pernah berharap balasan, walau kadang kau membalasnya. semoga tidak kau ulangi lagi.
            Oh iya, di dunia maya, sengaja menghapus pertemanan denganmu, bukan membencimu, tapi hadirmu masih tetap membuatku terdiam, semoga kau tak salah mengira. Karena aku masih menyukai dirimu, semoga kau tahu itu.

         Pesan terakhirku, mari kita jadi orang asing, dan jangan muncul lagi di depanku, karena aku tak tahu apa yang akan terjadi pada diriku. Semoga kau mengerti.

Secangkir chapuchinno memanggilku dengan senyum
Mengantarku kesuatu tempat yang tak pernah kunjungi
Ke tempat asing, walau tak begitu aneh di lidahku

Di situ, kutemukan  perempuan duduk manis
Dengan segelas cokelat panas di pangkuannya
“mari duduk, chapuchinno di tanganmu biar bisa kucium”

Secangkir chapuchinno dan sosok gadis, keduanya tersenyum manis
Segelas cokelat cemberut duduk di sudut sendiri, ditinggalkan

Dia mencium chapucinno yang aku bawa
Lalu aku merebut di bibirnya

Mengalir begitu deras, serupa hujan yang terjun bebas
Mata air yang kau bendung dikelopak matamu
Jadi danau yang di pipimu, berjejak

Ingatanmu begitu sigap menyaring kenangan
Entah yang mana, aku hanya bisa berangan
Mungkin tentang cinta, atau cita

Lalu luka datang lagi, tak sempat pulih yang sebelumnya
Selayak jarum yang mengalir bersama darah,
Begitu cepat melukai nadi, melukai hati,
Esoknya jadi air mata,

Air matamu begitu suci, begitu fitri
Relakah kau jatuhkan sesuatu yang begitu berharga?

Followers

Total Pageviews