Ada cerita yang tak bisa diam,
Selalu mengusik cerita yang lain,
Sesekali ribut, sesekali berulah

Ada cerita yang tak bisa diam
Dari satu hati ke hati yang lain
Cerita luka yang terbahak, ataupun certia cinta yang meneteskan air mata

Ada cerita, yang sesekali saja diam,
Cerita tentang kamu dan aku yang tak mau menetap disatu hati
Tersesat pada cerita lain, kadang berpindah ke cerita lain lagi

Ada cerita, yang ingin pindah
Cerita tentang aku yang terpaku pada kenangan
Serta dirimu, yang terpatri dalam hati.

Ini, cerita tentang dirimu, yang ingin pindah.
Lalu cerita tentang diriku, yang menetap di cinta kita.

#11hari #SebelumPindah
Menyendirilah,
Lalu kau ditemani oleh bayang-bayang
Kenangan yang pernah kau lupa keberadaannya
Kenangan tertinggal di paling palung hatimu.

Menyendirilah,
Lalu memejam, berbicaralah pada dirimu sendiri
Akan kau tahu, bahwa kau tak pernah sendiri

Menyendirilah,
Ketika dunia yang kau puja berbalik menghujat
Menangislah, air mata membasuh luka tak nyata.

Menyendirilah,
Lalu ingat aku.

Akan hangat seluruh tubuhmu, bahkan pada dekap mayaku.
Indah, dimatamu bermukim pelangi.
Serupa ribuan warna yang melekat di langit biru
Mata penuh misteri, menyimpan kata penuh arti
Ingin kutangkup keseluruhan arti matamu dalam bibirku.
Dingin,
Hujan,
Senja,
Kamu.

Lalu dingin,
Lalu hujan.
Saat Senja
Ada kamu.

Tetiba dingin,
tak ada hujan.
Berlalunya Senja
Pun Kamu.

Sudah tak ada dingin.
Sedang di luar, awan masih tak tak mau menurunkan hujan
Sudah gelap, tak ada lagi yang kau sebut senja.
Pun Kamu.
Tanpamu, sebuah asa bergelimpangan.
Ingat, ketika matamu begitu ceria menatap bibirku?
Lalu, kita tak perduli waktu, entah siang, entah malam.
Lantas, kemana dirimu sekarang?
Yang pergi, meninggalkan .

Walau, di sudut bibirmu pernah bersemayam cinta
Untuk, kukecup setiap pagi di sebuah ruang biru
Lalu, entah, sekarang kenangan tentang bibirmu berganti dengan bibir lain.
Andai, sebuah danau bisa bercerita banyak tentang aku dan kamu, andai.
Namun, hanya sunyi, serta kita yang hanya tersenyum kikuk menatap deburan air danau.

Dimana, dirimu?
Andai, disini. mungkin sudah kukecup, dan kutanam dirimu disudut matamu
Rindu, lantas aku bisa apa, ketika bibirmu hinggap di bibirnya, dan matamu hanya bisa memejam?
Inikah, rasa yang dicintai manusia? Aku hanya ingin menggila, malam ini.

Denganmu.
Kemana kita sore ini?

Ingin kuajak kau ke pantai sore ini
Sekedar ingin berjalan bergandeng di pinggir pantai
Sudah lama tak mengenggam jemari tanganmu,

Mungkin saja dingin angin laut bisa mengeratkan pelukan
Atau silangan jari kita yang tak membiarkan angin memisahkan

Kemana kita sore ini?

Ingin mengajakmu ke danau kecil yang tak ramai itu
Sekedar ingin duduk berdua, berceloteh tentang bangau yang terbang tak terarah
Sudah lama duduk berdua berdekatan , bersamamu

Mungkin saja sisa-sisa hujan membuatmu tak ingin duduk dimanfaatkan angin lalu
Atau kursi pinggir danau ini yang mengerti keinginan kita.

Kemana kita sore ini?

Tapi aku masih disini, menghitung kemungkinan kemana kita akan pergi
Sambil sesekali menyeruput segelas kopi yang sudah tak berasa.
Masih di warung kopi ini, menghitung kemungkinan pertemuan

Sedang di luar sana.
Malam dan hujan memerangkap sendiri disini


Puisi untuk @didochacha dalam #DuetPuisi
Aku berkata-kata yang sama,
Pada orang yang sama,
Dengan perasaan yang sama,
Di waktu yang berbeda,

Pernah kucoba melukis bentuk hati yang baru
Pada kanvas lain yang lebih putih dan lebih indah
Entah kenapa,
Selalu saja bentuk hati yang dulu kau berikan tercetak di kepala.

Lalu aku bertanya,
Masihkah kita mempertanyakan ini salah siapa?
Padahal kita sama-sama tahu bahwa kita masih ingin saling menggenggam
Bahwa kita masih saling ingin beradu padu, 

Disini, kendi besi sudah merintih,
Sudah siap kuseduh teh, iya, teh, kesukaanmu
Bukan kopi seperti yang biasa kuseduh
Aku ingin kau disini sekarang. saaat ini. Dirimu.

Bisa?
Di puasa kali ini,
kau tak sempat disini,
menemani, 

Kau, mungkin bisa jadi teh manis yang menyejukkan
atau mungkin semangkok kolak pisang yang begitu dingin,

Ah, kamu dan jejeran kolak pisang, selalu
selalu,
selalu......

Lalu kapan bisa kau cicipi semangkok rindu yang kuracik sendiri?


Aku duduk disini, sendiri
Menghitung tulisan yang tercipta,
Sudah tak terhitung jari.

Mengapa aku sendiri?
Karena kesepian sudah menjadi ramah padaku

Aku duduk sendiri, menutup mata,
Mencerna beberapa tulisan
Sambil menyeruput kopi yang kembali hangat

Mengapa menutup mata?
Karena ada tulisan yang menunggu dirimu.

Aku duduk disini, menunggu,
Menyeruput kopi hitam yang rasanya berubah-ubah,
Tentang ada atau tidak adanya dirimu.

Mengapa aku menunggu?
Karena menunggumu, mata air tulisanku.

Mungkin memang aku bodoh, menjadi daun yang menari-nari
Tertiup angin yang entah kemana, atau bagaimana.
Setidaknya, aku tak akan terlalu jauh jatuh dari kau yang menggenggam
Mengendap, melebur, menyatu dengan tanah, lalu menyuburkan kembali apa yang kita pendam

Aku menunggu, dan mencoba setia,
Bosankah menunggu?
Bukankah kesetiaan itu memang harus diadu?

Oh iya, masih bisa kutagih kopi buatanmu? 
Aku duduk disini,
Menikmati segelas kopi yang datang terlambat
Kupesan untuk menemani,
sambil menunggumu.

Aku duduk disini,
Ditemani beberapa lagu yang semakin asing di telingaku
Menemani diriku,
Sambil menunggumu.

Duduk disini, sendiri
menulis kata yang tak ingin bosan kueja.
Menemani diriku,
Namamu.

Duduk, ingin beranjak,
Bangku bambu ini sudah kepanasan mendengar celotehanku sendiri.
Yang sudah bosan menemani,
Menunggumu.

Tapi aku tetap ingin duduk disini, 
bersama lagu dan segelas kopi yang sudah tinggal ampas.
dan beberapa orang asing yang lalu lalang
Hanya untuk menunggumu.
aku adalah sampah yang berserakan diantara jalan-jalan yang telah dilalui oleh penjalan kaki yang teronggok tak berdaya melihat tumpukan mahkota yang menghiasi dunia.

aku adalah kotoran yang setiap hitungan detik dibuang dan tak mungkin dilirik lagi kecuali bagi mereka yang ingin menjual diriku kembali.

dia adalah binatang yang tak tahu aturan yang berjalan dengan angkuh diantara hutan-hutan rimba yang sebenarnya lebih besar dari diriku ini.

dia adalah bintang yang menabur diantara jagad raya yang dengan sombongnya memamerkan kilauannya tanpa menyadari ada matahri yang memberikannya sinar yang membuatnya bisa berkelap-kelip dan tak pula menyadari bahwa sang bulan hanya bisa tersenyum melihat kesombongannya

Mungkin bulan tak semenarik dirimu
dan bintang tak seindah kerlipmu
tapi satu yang tak mungkin kulupa darimu
senyum manismu laksana mentari penyejuk hati

saat tidur dalam lelap
mimpi melayang diatas ubun-ubunku
hanya satu yang menyejukkanku
dirimu yang kini tak lagi mungkin teraih
Baru kusadari
Kalau aku kehilangan dirimu

Saat kuterbangun dari tidurku

Dan merasakan sebuah sepi


Perempuanku

Setelah kau pergi

Baru tersadar olehku

Kalau kaulah yang terbaik disisi


Maafkanlah aku

Kuingin kembali

Merajut kembali cinta yang dahulu

Yang terkoyak hanya oleh nafsu


Tapi itu tak mungkin terjadi

Kau telah tergandeng lelaki

Yang mungkin terbaik untuk dirimu

Yang mungkin mengalahkanku


Namun satu pintaku padamu

Izinkanlah kuhantarkan kata-kata maafku

Walau hanya lewat puisi yang hambar

Untuk perempuan yang tak hambar
Cinta……
Mengapa kata itu harus ada
Bila akan tercerai berai
Oleh nafsu dunia

Cinta…..
Kata yang tak aku mengerti
Apakah itu ungkapan perasaan
Atau hanya menjadi sebuah kata

Rindu………..
Orang bilang itu menyenangkan
Tapi mengapa bagiku
Kata itupun berat menindihku

Angan……..
Hanya itu yang kini tertinggal
Setelah cinta menghilang
Rindupun sudah tak bersemayam

Bayangmu pun kini tak teraih
Hanya hitam yang terlihat olehku
Tanpa sudut yang jelas
Tanpa ada yang memperjelas

Sebelum ku dapat tertidur
Bayangmu selalu menderaku
Dengan sribu ingatan bersalah
Dan ku tak mampu untuk meminta maaf

Sebelum lelap hadir di mataku
Wajahmu selalu menghantui otak kiriku
Menyiksa dan terus mencambukku
Dengan sribu dosa yang telah terjadi

Dalam tidurpun
Mimpi seakan menjadi kiamat
Sebab dalam mimpi
Kaupun hadir menertawaiku

Sribu sesal dan maaf
Kini hanya dapat kuhantarkan
Lewat lagu dan puisi
Yang dihantarkan angin membisikmu
Mentari perlahan mulai menghilang dibalik jendelaku. Awan yang tadinya berwarna jingga kini dengan perlahan pula menjadi kelabu dan akhirnya tak meninggalkan sisa-sisa putih ditubuhnya. Saat itu aku tak tahu apakah mentari itu tenggelam dalam keabadian atau hanya sementara, namun harapan yang terus ada dalam benakku tak menginginkan ia terus menghilang, aku ingin dia kembali saat fajar mulai terlihat.
Tapi sebagian dalam diriku tak menginginkan siang yang berkepanjangan karena malam tak henti-hentinya menciptakan keindahan dibalik kegelapannya yang samar-samar.
Saat mentari tenggelam tanpa tersadar olehku bulan sudah mengintip dari balik pintuku dengan cahaya lembutnya menyentuh pergelangan tanganku, dan sesaat kemudian bintang dengan malu-malu mulai menghadiri pertemuan itu dan mulai meramaikan malam yang tadinya beralaskan hitam dan beatapkan gelap.
Malam itu mungkin bagi insan adalah sebuah persinggahan seorang pengembara dari perjalanan panjang yang menyuguhkan keindahan dunia dibalik tirai gelapnya namun bagiku malam adalah sebuah persembahan dari pujangga yang dengan rangkaian katanya dapat menyuguhkan melodi-melodi syahdu dalam alunan dawai harpa sang maestro cinta.
Malam yang sangat susah untuk terlupakan dalam otak semua makhluk dibumi karena malam itu merupakan persembahan termanis yang pernah ia berikan pada pada jagad raya, namun bila terus teringat, batin ini seakan-akan mau menghanurkan diri sendiri ini dalam ledakan-ledakan mautnya yang mungmin mengandung dinamit-dinamit berkekuatan benci dan amarah yang terangkum dengan sempurna dalam kitab sang maestro tersebut.
Saat itu, saat bulan mulai bermain bersama kerlip bintang di kegelapan sana, diantara tirai-tirai awan hitam yang semakin lama semakin berkumpul menghalangi permainan mereka. Saat itu pula aku bersandar dalam kebekuan yang menampar rusuk-rusuk ini dengan sesuka hati, jiwaku dengan paksa tega meninggalkan raga hampa dan hambar ini. Pergi terbang melayang entah kemana, mungkin ke alam surga tak berpenghuni atau entah kemana, aku tak mau perduli. Mataku dengan nanar memandang kearah timur dan tak sengaja mataku menangkap sekelebat bayangan tak jelas yang bergerak diantara galaunya hatiku dan diantara jejak-jejak malam.
Hanya itu kata yang mampu aku keluarkan dan ingin terucap oleh bibir keluku yang dahulu tak henti-hentinya untuk mengecup namamu lewat bibir-bibir puisi yang melantun indah dalam damainya angin syurga yang menghantarkan melodi yang kini tinggal gesekan.

Tak ada lagi sebaris kata indah, tak ada lagi sebait puisi romatis yang mampu aku ucapkan dengan bibir pucatku dalam lantunan melodi biola rindu untuk ungkapkan rasa bersalahku terhadap engkau dewi pagiku.

Malam yang terlalu indah untuk dilupakan hanya dalam kejapan mata dan kerlingan alis namun terlalu menyiksa bila terus teringat dalam otak beku seorang pujangga yang sampai saat ini hanya menjadi segumpal daging yang menyuarakan kata-kata picisan walau dalam derasnya hujan malam yang dengan setianya menemani sebuah bayang gelap diantara lorong-lorong waktu yang semakin lama semakin jauh seolah bersembunyi dibalik dinding keraton sang raja angkuh.

Wahai sang dewi, haruskah aku meninggalkanmu karena kesalahanku itu, bila iya, akan kuhempaskan seluruh raga, jiwa serta auraku dengan sekuat tenaga dari dunia khayangan dan khayalan ini ke bumi yang penuh tanah membusuk dan lumpur-lumpur biru yang menghisap semua kenangan indah serta rasa bahagia yang telah berabad tersimpan dan terkunci rapat-rapat dalam sanubari kecil nan mungilku.
Mungkin juga dengan kesalahan itu, kurelakan tubuhku kau injak-injak dan kau lemparkan kedalam api neraka yang membakar semua rindu dan asmara yang telah kita lalui bersama dalam sebuah kesemuan yang tak nyata namun mampu menghalangi jalan kita berdua.

Sekali lagi akan kuucapkan kata-kata maaf yang tertulis rapi dalam sebuah kertas buram ini dan akan kucoba untuk mengirimkannya padamu lewat pos jiwa yang trus berjaga.
Malamku kini sudah gelap

Yang terlihat hanya kaca hitam

Bulanpun kini terlindung

Oleh awan hitam


Namun kubahagia

Karena disudut ufuk sana

Ada sebuah bintang kecil

Yang mengerlip pada hatiku

Kulantunkan kata kata pujangga

Pada matahari yang mulai terbenam

Yang menyinari awan putih

Dengan sinarnya yang mulai senja

Kurangkaikan bait-bait indah

Pada bintang di langit hitam

Yang dengan kerlip mungilnya

Dengan setia mendampingi dewi malam

Kuhaturkan rasa terima kasih

Pada khayangan di atas sana

Yang telah menciptakan dewa amor

Dengan segala cinta dan kehangatan

dan kupersembahkan sebuah cinta

pada engkau sang mentari

yag dengan tangan terbuka

menerimaku apa adanya
SEDETIK YANG LALU
HATI KITA MASIH MENYATU
RAGAKU MASIH MILIKMU
BEGITUPUN DIRIMU
SEDETIK YANG LALU
MIMPI KITA MASIH SATU
INGIN TETAP MELAYANG JAUH
TERUS MENERUS TANPA LEPAS SAUH

SEDETIK YANG LALU
KU MASIH MENCUMBU
DAN TERUS MENCIUM BIBIRMU
HINGGA MENTARI TAK BERBEKAS
KINI………
SEDETIK ITU TELAH BERLALU
YANG TERTINGGAL HANYA BAYANGMU
YANG TAK MUNGKIN LAGI TERAIH

10pm : Aku sudah menguap lebar

11pm : Aku sudah mulai terlelap

00am : Aku sudah sangat lelap

01am : Kau menelponku dan bertanya

"apakah kamu sudah tidur sayang"
aku jawab
"aku baru mau tidur sayang"
Aku masih mengingat namanya yang tak bisa kusebut itu,
Terngiang dengan jelas tanpa harus kuingat,
Mungkin Dialah alasan langitku menjadi biru,
Bukan mungkin, Tapi memang dia.

Seperti benalu dalam jiwa tapi aku tak terganggu
dia tumbuh dan menyebar tanpa aba-aba
tapi sekali lagi tak menggangu, 
malah aneh kalau suatu saat dia tak ada

Seperti itu yang aku rasakan tentang dia yang tak bisa kusebut namanya.
Aku ingat saat bulan bersinar
Purnama ceria bermandikan bintang
Angin malam meniup helain daun kelapa
Jatuh, terbang entah kemana

Tersenyum menatap lautan biru yang telah menghitam
Tersenyum menanti malam yang kian redup
Menanti pagi yang tak kunjung datang
Menanti, menunggu

Angin malam menelusuk diantara jariku
Dingin, santai melewati telapak tanganku
Aku bertanya pada sang malam
Dimanakah tangan yang biasa menyisip diantara jariku

Jari itulah alasan mengapa langit berwarna biru
Jari-jari itulah yang senantiasa menemaniku
Seperti bulan yang menggantung menemani bintang
Seperti itu, seperti itu,,
Segelas kopi perlahan dihangatkan tetes demi tetes kopi,
Memenuhi bahkan hampir tumpah,
Beberapa lagu yang tak kau suka, kuputar,
Sekedar untuk mengetahui dimana letak ketidak-sukaanmu.

Ah, tentang dirimu lagi.

Bahkan pada segelas kopi,
Beberapa lagu,
Dinginnya malam,
Sanggup menarik ingatanku menujumu.

Semalam kutemui dirimu,
Gelap,
Entah,

Kita begitu dekat dan begitu jauh,
Bahkan sudah tak kuingat aroma tubuhmu,

Ah…
Mungkin aroma malam terlalu membiaskan wangimu.

Disini,segelas kopi sudah setengah,
Cerita tentang manis-pahitnya mungkin sudah mulai tenggelam.


Ada tetes yang tersisa di rimbunnya pohon mangga di samping rumah,
Ada pelangi yang mengintip dari balik gunung di belakang rumah
Pemantang sawah sedikit tergenang, sungai agak meluap
Lalu beberapa petani di depanku, tersenyum, ada bahagia yang tak terjelaskan.

Di atap sebuah gedung tinggi, bunyi gerimis hujan yang mereda,
Di lantai bawah, genangan sudah semata kaki,
Beberapa pengendara berhenti di ruko pinggir jalan,

Lalu beberapa orang di sampingku, tersenyum, ada bahagia yang tak terjelaskan. 
Menatap beberapa yang lalu lalang,
Senyum yang asing, mereka tertawa
Tawa yang begitu lepas, begitu riang,
Aku terhanyut, terbawa.

Lewat lagi mereka, dengan tatap yang begitu sinis
Tatap, tak terduga, yang kemarin begitu manis,
Mungkin saja kemarin aku yang terlalu optimis.
Mungkin juga kita hidup di dunia yang sadis.

Esok harinya kembali bertemu dengan lalu lalang yang sama,
Berjabat tangan sambil bercengkarama
Jabatan hangat yang lumayan lama,
Ya, jabatan yang begitu hangat, tapi aku tak kenal nama.

Kadang memasang topeng yang tersenyum,
Kadang mereka berlakon cerita yang mereka tak tahu
Harap maklum,
Cerita yang mereka tak tahu, begitu kaku.

Ini cerita manusia, cerita kita.


“Aku akan selalu jadi aku, perilakuku tergantung dengan siapa aku berhadapan” 
Hujan turun rintik-rintik
Membawa rindu yang perlahan menitik
Jatuh perlahan, menetes, dari daun-daun bunga liar.
Mengantar kenangan, yang semakin meliar.

Hujan turun satu persatu
Membasahi setapak berbatu
Kita pun pernah jalan satu-satu
Ya, tangan kuta menyatu

Hujan turun semakin deras
Kutatap dari jendela, dengan mata yang mulai malas
Bukan tubuh yang mulai lemas
Tapi hati yang sesekali memelas.

Hujan turun menemani secangkir kopi
Lalu lalang beberapa cerita dan mimpi
Beberapa mencoba untuk menepi
Ini aku, duduk diantara belasan orang, sepi

Hujan turun. di seberang, seorang tua dengan kaki telanjang
Berjingkrak-jingkrak, namun senyum tak lepas dari pandang
Ah, secangkir kopi kuseruput perlahan
Namun bagi rindu, dijadikannya lahan.

Sejenak, Hujan turun jadi gerimis
Di depanku, gadis kecil tersenyum manis
Tak kaku, tangannya menarikan tarian agar hujan mengekal
Kutatap lamat-lamat, dia, diotakku sudah kekal.

Hujan sudah tak mau turun,
Aku beranjak dari peristirahan khayal
Ikut menari tarian pemanggil hujan, tak ayal.

Lalu awan menghitam, ku ulang lagi sajak hujan turun.
Kutulis lagi namamu di komputer kerjaku,
Tapi bukan dirimu, hanya dengan abjad yang sama,
Lalu salahkah bila tetiba aku mengingatmu?

Lewat di sebuah jalan yang sudah terlalu ramah di mataku,
Sekilas kulihat tempat biasa kita duduk menikmati makanan kesukaanmu.
Lalu salahkah bila tetiba aku mengingatmu?

Duduk merenung, seperti yang biasa aku lakukan,
Menatap awan serupa kelinci,yang pernah kau perlihatkan padaku,
Lalu salahkah bila tetiba aku mengingatmu?

Kuregangkan tanganku, sekedar ingin meringankan penat,
Kusatukan tanganku. Ah, genggamanmu.

Lalu, masih salah bila tetiba aku mengingatmu?

Duduk sendiri,
menatap hujan yang jatuh sore ini, yang jatuh perlahan.

entah
apa yang ada dalam pikiranmu saat itu.

Lalu kau raih pulpen warna-warni dari dalam tasmu,
Kau rangkai beberapa kata,

Entah
Apa yang kau tulis,

Atau mungkin karena kau sedang bosan menunggu kekasihmu yang tak kunjung dating,
Atau kau menunggu hujan sore hari ini agar mereda, mungkin saja di rumahmu, sang kekasihmu sudah menunggu,

Entah,
Apa yang sedang kau lakukan sekarang.

Gerakan kakimu yang perlahan menghentak-hentak tanah,
Mungkin saja kau sedang tak sabar, atau, mungkin saja tatapan kita yang tak seirama

Ah, ya, kita sempat bertatap mata.

Atau, yang kau tulis sekarang itu juga tentang aku?
 Entah.

Berserak beberapa buku yang belum sempat aku baca,
Sebuah buku terbuka setengah, dengan sampul perpaduan merah dan biru,
Lalu kuintip langit dari balik kaca,
Awan semakin berarak, membawa sebuah cerita haru.

Tertidur menatap langit-langit, terbayang beberapa bintang berwarna hijau
Dan beberapa bentuk tak jelas segala rupa.
Kugambarkan segelas kopi dan beberapa titik-titik serupa hujan.
Agar mungkin bias kusapa.

Gerak mulut merapalkan kata, agar namamu tetap bias kuingat,
Gerak mata tak terarah, disetiap sudut ada bayangmu.
Kudengar suara-suara di luar sana,
Hampir saja semuanya melengkingkan namamu.

Yang begini?
Asmara yang pernah kita baca pada sebuah buku bersampul merah, dan biru.
Yang seperti ini?
Asmara yang pernah kita lakonkan pada sebuah masa.

Suara-suara semakin lengking di telinga, sedang semua semakin lelap dalam keheningan,
Lalu terbangun, belaianmu dalam mimpi tadi seolah nyata.

Aku. Terjerat pada kata, dan kita.
Aku sudah lelah berkelana, aku sudah lelah berlabuh di dermaga yang salah. Aku akan selalu mengencangkan genggaman untukmu sekarang dan yang akan datang. Di dirimu kutemukan cinta yang tak biasa, dan cinta yang tak pernah habis, cinta yang semakin menguat setiap waktu, disetiap tatapan mata, disetiap senyum yang kau urai di kala hujan.

Jangan sedih, wahai perempuanku, disini pertama kali kita bertemu bertukar senyum, disini pula aku bertekad meminta izin untuk merebutmu dari ayahmu, dan aku yakin kau akan menerimanya, cintamu padaku sudah begitu dalam, dan akupun tak bisa mengingkarinya.



Cincin yang kuberikan, begitu indah di jari manismu, dan tangis-sukamu begitu menenangkan.
Kita akhiri perjalan yang jauh dengan pertukaran janji untuk tetap bersama. Kita akan tetap menikmati semua bersama.

“Besok kita ketemu orang tuamu.”
Dan mereka pasti senang bertemu aku, kamu. Kita.

"Kutulis sebuah kata cinta, di secarik kertas putih, nama dan tanda tanganmu mengikutinya”
--[PH]--

Surat balasan terakhir untuk : Untuknya, sumber kebahagiaan


Biarkan cerita itu kita nikmati dan kita ceritakan pada anak cucu kita sambil tertawa dan sesekali menyeruput teh buatanmu, mereka pasti cemburu dan ingin mengikuti kisah kita, yang sempat terpisah.


Dari Nol Kilometer, akan kudampingi dirimu, sampai Puncak Jaya, bahkan sampai nirwana, akan tetap kukencangkan genggamanku padamu, tidak apa-apa kan?

Mungkin nanti, aku tak ingat lagi tanggal pertemuan kita, ingatkan aku, karena aku ingin tetap mengenang senyummmu.


---Sebuah Puisi Untukmu—

Secangkir teh yang tadinya sudah mulai mendingin,
Kepulan asap sudah tak mau keluar dari pekatnya.
Roti bakarpun sudah perlahan mengikuti suasana ruang ini

Sebuah kenangan sudah mulai usang,
Beberapa detil kenangan sudah tak kuingat lagi.
Bahkan hampir lupa pada pertama kali tangan kita bersentuh.

Terbangun dari atas kasur dingin,
Kau terbaring disampingku
Lelap, dan kau masih tetap manis.

Sudah berapa kali tanggal itu berulang,
Ketika kau sudah sah kurebut dari ayahmu.
Dan kita jadi sepasang raja-ratu sehari.


Diluar begitu ribut, beberapa suara anak kecil,
Itu cucu cicit kita yang mengetuk pintu kamar kita,
Ingin mereka kita keluar dan bermain, sambil sesekali tertawa.

Ah, cinta tak pernah berubah,
Bahkan cinta ini masih seperti saat pertama bertemu.

Dulu,
Seorang gadis duduk manis di sebuah kedai kopi sambil menyeruput teh hangat.
Sekarang, walau sudah termakan waktu,
Seorang perempuan manis tertidur lelap di atas kasur bersamaku. Cantik.

Kepadamu...

hangat yang menyentuh  pipi lalu bibirku bergantian, hangat yang dulu sangat kukenali, dan aroma roti bakar yang harus membangunkanku dari mimpi, harus kuceritakan mimpiku? Mungkin kau sudah tahu bagaimana jalan ceritanya, iya kan? Dan saya terbangun dengan senyum.



Ah, perempuan ini, tak henti-hentinya membuatku jatuh cinta, bahkan pada senyum tipisnya dan pada caranya berjalan. Oh iya, dimana kau letakkan sayapmu wahai perempuan?

[PH]
 Kepadamu….


Aku baru ingat, hari itu aroma kopi moka melesat ke hidungku, itu yang membawaku bertanya padamu tentang arah di Bandung. Ya, aroma moka, kenapa aku bisa lupa dengan aroma roti dan moka di warung kopi waktu itu, 




ah, mungkin waktu yang menghilangkan ingatanku waktu itu, tapi kini, di depanku sudah tersaji segelas kopi moka, gelas kedua malam ini, untuk mengingatkanku kembali pada wajahmu, pada senyummu, pada telapak tanganmu

Masih kau ingatkan kalau aku sangat menyukai gurat-gurat di telapak tanganmu, simbol ٨١  dan ١٨ , seperti huruf arab.



Kau tak kembali, karena kau tak pernah benar-benar pergi. Ya, aku setuju, kita betul-betul tak pernah beranjak dari cinta yang kita bina.

Malam ini aku  siap-siap membereskan barang, dan mengemas beberapa kenangan yang kita bentuk dalam sebuah kalung, dan beberapa gantungan kunci. Semoga saja memantik cinta yang dulu ada.

Besok saya berangkat ke Bandung, semoga ada cinta yang menyambut disana.

[PH]

Kepada, Perempuan yang telah kembali padaku.

Semalam,aku cepat lelap, siang sudah berhasil melumpuhkan semua indraku, hingga malam sudah harus membelaiku dengan segera, agar mimpi dengan sigap datang. Terbangun dengan tatapan aneh beberapa sahabatku, “Kamu tidurnya aneh, sambil tersenyum”.
“Mungkin mereka menyinggungmu”

Terima kasih, semoga kembalimu kali ini, kau betah tinggal dalam hatiku, disitu sudah kuhiasa beberapa foto kenangan kita pertama kali bertemu.

Eh, tentang pertemuan kita pertama kali, masih ingat? Kita punya pandangan yang beda, kali ini, kuceritakan versiku sendiri tentang pertemuan kita pertama kali.

Tahukah kau bahwa ketika seorang jatuh cinta, semua berjalan begitu lambat, bahkan senyumanmu terekam dengan jelas pertama kali. Kali itu awan berbentuk kelinci yang sedang melompat. Saat itu aku tersesat, dan menemukan dirimu. Bertanya arah pada perempuan manis yang kujumpai di Bandung. Ya, senyumanmu yang jalan begitu berbunga-bunga, dan bintang serupa lampu hias malam itu, ah entahlah, cinta begitu menyilaukan kali itu.

Kali ini suratku (lagi-lagi) singkat. Tapi semoga makna yang kau dapat sepanjang sejarah manusia.

Dari seorang yang jatuh cinta (lagi) pada orang yang sama
Terbangun bersama kokok ayam jantan, di luar masih agak gelap, namun terang perlahan muncul dari balik kisi-kisi kamar yang agak berlubang

Kuraih telpon genggamku, mendapati puluhan panggilan tak terjawab, dan sebuah pesan yang menanyakan kabarku, kau tahukan aku tak pernah menggubris panggilan yang tak kukenali. tapi pesan tertinggal itu memberikan tanda bahwa itu dirimu, entahlah.

Kabarku baik-baik saja, disini begitu dingin, mungkin selimutnya yang kurang tebal,mungkin angin diluar yang membuatku dingin, atau mungkin karena rindu padamu yang mendinginkan ruang dalam hatiku, sekali lagi, entahlah.

"Aku baik-baik saja, tapi rindu tetap saja mengganas di hati, kamu mengerti kan?" 


Sepulangmu dari aceh, maukah kau bertemu di tempat pertama kali kita bertemu?
Jangan Pergi

Kita adalah kenangan yang saling mengulang kisah keindahan, ada sisi yang tak bias kita lupakan, rinduku mungkin pernah tersesat di hati yang lain, tapi kau tahu satu tujuanku, kehatimu

Jangan pergi, kali ini aku sentuhkan lututku mencium tanah, memohon langit agar bergemuruh, dan hujan akan tiba ditempatmu, dan kau akan mengingatku lagi, mengingat cinta tang kita jalin dengan rumput di pulau lae-lae.

Cinta kita indah, pernah indah, dan akan tetap indah bila kau masih ingin terus menggenggam tanganku saat pertemuan.

Kutangkupkan kedua telapak tangan, menatap langit yang mulai menggelap.agar awan segera terbang dengan cepat ke tempatmu, agar kau tetap tinggal,

Jangan dulu serahkan hati yang pernah kutitipkan, karena kita sama-sama tahu, inta masih begitu menggebu di hati kita,bila kau bias menyentuh dadaku sekarang, iramanya ketukan namamu, terasa indah.


Disini, kutulis surat ini saat senja
Ketika matahari yang sudah meraja
Perlahan tidur dan tetap di puja.

Disini aku memohon
Dengan tangan tertangkup
Dan lutut diatas tanah

Disini mata memerah
Mengingat kisah yang kita bina

Jangan pergi, tetap disini
Masih lagi, cinta warna-warni

Jangan pergi,
Karena cinta
Masih ingin tetap disini.

Jangan Pergi.
[PH]

Semalam aku tak bisa tertidur lelap, mengingatmu disetiap sela bangunku, sehatkah kau disana? Hati-hati disana, karena kau sedang membawa hatiku bersamamu.

Masihkah kau berpikir tentang perpisahan? Bukankah perpisahan itu hal yang paling kita benci? bukankah pisah adalah hal yang dulu kita laknat saat genggaman kita begitu erat di Pantai Losari?

Pertama kali bertemu dirimu di Bandung, begitu banyak mimpi yang aku tata rapi,

“Suatu saat nanti tak perduli apa yang aku kerja, aku harus menggunakan dasi, agar kau bisa setiap hari merapikan dasiku dan aku bisa lebih lama menatapmu”

Sedang mimpi yang lain,

“Aku ingin menutup mata sambil menatapmu tertidur dan bangun saat kau masih di dalam dekapanku”

Tidakkah itu semua menjadi mimpi kita? Tapi kenapa jarak yang seharusnya menguji kita malah menjadi pemisah, malah menjadi alasan untukmu pergi.  Segampang itukah kau maknai perpisahan?

“Mimpiku sesederhana itu, sesederhana memelukmu dan tertidur.”

Begitu banyak cinta yang akan kita hapus dalam perpisahan, seberapa banyak air yang tersimpan di dalam mata-air matamu dan mata air-mata yang akan tertumpah dan mengasinkan bibir kita?

“Maaf bila kali ini aku banyak tanya, karena perpisahan tak pernah terlintas dalam kepalaku”

Pagi tadi bangun dengan badan yang lemas, biasanya, kalau aku begini, kau begitu sigap membuatkan teh panas kesukaanku.

[PH]



Sudah bisakah kau melupakan hari pertemuan kita?

Bagaimana mungkin bisa pergi, bila semua yang ada di diriku sudah begitu lekat denganmu, bahkan aku sudah begitu terbiasa mencintaimu, hingga akupun tak tahu bagaimana menjalani hidup dimana dirimu tak ada di dalamnya.



Jangan lelah, janji yang kita rapalkan dulu di tanggal 27 Januari akan selalu aku ingat, dan semoga kau tetap mengingat cinta yang begitu indah saat itu, ketika awan terlihat begitu suci dan angin sepoi yang membawa aroma mawar merah.

Bisakah kau lupa ketika semua ingatanmu adalah aku?

Menangislah, aku tak pernah melarangmu menangis, tapi pastikan setiap tangismu menghilangkan ragu akan aku.

Ya, Hal-hal- terbaik tidak dicapai dengan mudah, dan kau akan menyerah ketika semua itu sudah berada dalam genggamanmu? Ketika cinta begitu pastinya mendekam dalam hati kita?

Semoga kau masih mempertimbangkan kepergianmu…

Hujan, dan kita tetap saja adalah kata yang berubah jadi satu, dan kenangan selalu datang tak diundang. Dan menikam diam-diam

Jawaban entah, adalah ketika aku berada di masa antara ingin mengingatmu, atau harus melupakanmu, kau terlalu jauh, dari jangkauan, tapi terlalu dekat untuk aku lupa.



Dua hari lagi tanggal 27, dan januari adalah pertemuan pertama kita di kota Makassar ini. Ada aura magis di angka itu, aura yang selalu membuatku merinding, bahkan ketika melihat angka 27 di depan rumahmu.
Masih tentang hujan, entah mengapa ada beberapa tetes yang terasa asin.

Mungkin juga bukan menunggu yang kita lakukan, mungkin yang kita butuh adalah gerak, agar kita semakin mendekat.

Kata kita semakin berputar, dan ini sudah sekian kalinya kuucapkan, kenangan selalu saja melukai kita, disaat kita tak sadar kita sedang terluka, bahkan kadang terlalu terhanyut dengan luka itu.
Haruskah cerita ini kuhentikan dipertengahan? Dan memulai menulis kisah baru?

Followers

Total Pageviews