Di sebuah kedai biru, aku menunggu,
Diam, termangu, tertunduk.
Menunggu waktu, senja siap tertutup malam.
Ada waktu, kusesap kopi hangat yang terjaga di depanku.

Dua gelas kopi, satu kenangan mengimani.
Menikmati kopi, menyegarkan kenangan.
Tentang senja, tentang warna yang yang di indahkan dalam ruang.
Lalu tentang dirimu, perempuan yang jatuh cinta pada kopi

Menunggu, tak selamanya berakhir temu.
Serupa menunggu yang tak mungkin disini.
Dirimu, hilang.
Diriku, ikut.

Segelas kopi sudah sedari tadi mendingin,
Angin sudah tak bertiup,
Riuh kawan sudah menyenyakkan diri

Terbangun di satu sisi tempat tidur,
Memeluk masa lalu yang tak nyata

Kapan terakhir kali kita saling mengisi tawa?
Kapan terakhir kali kita berjalan saat hujan begitu riuh di atas kepala kita?
Kapan terakhir kali kita begitu lepas menertawakan tatap kosong orang yang lewat?

Entah, sudah berapa kali aku mengingatmu di beberapa menit ini
Setiap kuseruput kopi sambil memejam,
Seperti seolah kau yang menggerakkan cangkir bertemu bibirku.

Sayang, disini sudah gelap,
Kasur sudah sedari tadi memeluk tetangga,
Sedang aku, dipeluk bayangan.

Teringat bisikmu
“Aku mencintai hujan”
Bisa kubangun rumah kita di atas awan?
Tetes demi tetes jatuh dari langit
Dua tangan tengadah, dua mata yang berderai
Tetes demi tetes menyatu menjadi genang
Diciptakannya sebuah kenang dari tiap tetes.

Ada dingin yang tak bisa diceritakan
Ada pelukan yang tak bisa diungkapkan
Ada detakan jantung yang semakin menderu
Lalu perlahan, menggelaparkan diri di bawah langit

Hari ini, kukenang kau sebagai tuan rumah pada rindu
Kucipta kau dari ruas-ruas jemari yang menari tak karuan di udara lepas

Aku ingin mengenangmu sebagai perempuan yang pernah mencintaiku.

Followers

Total Pageviews