Kita bertemu disatu masa yang aneh
Saat awan membentuk kelinci putih
Langit memerah disatu sudut
Matahari siap bertemu mimpi

Kau berbaring menunggu mendung
Menatap rintik yang siap berlomba sampai dibumi
Kutatap kau dengan senyum yang kusembunyikan dengan scarf biru
Warna kesukaanmu, warna yang mulai kusuka

“aku mencintai hujan, dengan setiap tetes yang tak bisa kupahami”
Aku diam, kutatap matamu, ada biru yang sering kulihat
“aku mencintai hujan, dengan setiap rindu yang tak bisa kupahami”
Lalu senyum, seperti rindu yang semakin meliat

Kulihat kau lagi disatu masa yang aneh
Bersembunyi dibalik senyum yang semakin aneh
Kau tatap aku, tatapan mistis dari mata paling mistis
Lalu aku jatuh cinta pada hujan, kemudian pada matamu
Terbangun diranjang penuh darah
Kau terkapar tanpa sadar
Beberapa luka guratan masa lalu masih jelas di dekat nadimu
Nafas terakhir kau lepas dengan desah, lalu mati

Subuh tadi kau masih tersenyum, menatap jam yang angkuh
Lalu berlari keluar, hujan mengiringimu, kau masih tersenyum
Kau hilang dalam mataku, terus berlari,

Lalu hujan berhenti, awan perlahan hilang
Kau datang dengan kuyup sekujur tubuh
Air mata diam-diam bersarang dimatamu
Kau diam, tanpa kata kau masuk kamar, lalu tertidur

Siang tadi kau terbangun dengan senyum,
Hujan menari-nari diatap, kau keluar, menari bersama
Lalu hilang, tanpa bayang yang bisa aku lihat

Lalu matahari meraja, kaupun kembali
Juga dengan tangis, hujan rintik di rumah yang lain
Lalu kau berlalu ke kamar, tertidur pulas
Dengan luka goresan dari pisau hujan
Aku hanya sepi yang tak mau kau jabarkan
Aku hanya sendiri yang tak ingin bertemu ruang
Jika kerinduan hujan masih tak bisa menetes disisiku
Maka sendiri hanya akan jadi bayang yang tak menentu

Aku hanya kenangan dari ribuan luka yang tak bisa sembuh
Aku hanya rindu yang tak pernah bisa lepas dari guratan lalu
Jika saja mimpi tak pernah buyar,
Jika saja aku bisa bertemu pengatur waktu

Jika saja hujan tetap rintik di daun yang aku tanam
Jika saja hujan tak menolak perintah awan
Mungkin pekarangan rumahku sudah kutanami dirimu
Ingin kuurai rindu ini padamu wahai hujan
Tapi mati malah menjadi pasti di sudut pelangi
Seperti senapan yang tertancap di satu nisan lama

Mungkin jelas kenangan tentang warna biru
Ketika jingga dan abu-abu harus jadi satu di lembayung
Sedang merah harus terdampar di awan yang terlalu berjarak

Mungkin kenangan harus mati di dalam kotak kayu
Lalu membusuk, esok jadi layu, kemudian hilang
Menjadi makanan bumi yang lapar akan kita

Sedang kayu-kayu yang terdampar disisi makam
Harus rela berdempet dan mematung tanpa ingatan
Tentang rindu embun tiap pagi yang lembut

Mari, sejenak terbang diantara melati, lalu mati
Esok, aku ingin menyatu dengan bumi dan kayu-kayu makam
Rinduku pada hujan mulai pudar, jadi bayang, jadi khayal
Ada angin yang tertambat di tali-tali jemuran
Menunggu matahari menguapkan embun
Yang tertahan di sela-sela daun basah

Ilalang bersemedi di ujung suatu gunung
Sendiri, hanya beberapa batu yang diam sekeliling
Sambil menunggu hujan reda di suatu sore

Seperti kita yang tertegun memandang senja yang tak usai
Seperti malam yang menunggu datangnya pagi yang ingkar janji
Seperti angin yang terus menari, diatas nisan yang kita sebut harapan

Lalu dingin menyergap sendiriku di taman basah penuh ilalang bersemedi
Lalu kelam menelan beberapa botol racun, hingga tersisa mulut busuk
Lalu kita kembali tertegun, menatap angin yang bingung
Yang tersesat diantara tali-tali jemuran
Kau datang dalam bayang-bayang senja,
Jadi hujan yang terus aku puja
Kelak, saat rindu mulai merambat cepat dari nadi
Ku terawang awan, mungkin hujan sedang bersembunyi

Malam jatuh ditelapak kaki perempuan malam
Jadi jejak tertinggal diantara rumput basah,
Entah, mungkin kenanganmu tertinggal di satu embun
Di satu titik pagi, saat camar dan pipit bertengger disatu telinga alam

Malam terus melarut dalam gelap, kelam
Kantuk menyambar dari balik bulan kusam
Mungkin, kau datang dari balik gelap dan tersenyum
Di satu lelap tak sadarku, disatu terang yang suram

Tak perlu kujabarkan lagi rindu tentang hujan padamu
Kau datang setelah hujan reda jadi langit putih
Kau berdiam di satu samudera yang tak bisa kujamah
Disatu panas dan dingin alam, kau kelak akan jadi perempuan hujan lagi
Enam tetes darah mengalir pelan dari nadiku
Berenang dengan bebas dan menghirup udara

Tetes pertama tanpa warna, tanpa rasa, bening
Mengalir kearah telingaku dan menatap bulan

Tetes kedua mengecil tersenyum manja pada nadi
yang telah ia tinggalkan dan mengembara bebas, lalu terjatuh diatas abu jalan

Tetes berikutnya begitu merah, seperti darah naga terbang
Ia bersembunyi dalam kata, dan  hilang di tepi danau

Lalu tetes selanjutnya jadi gelap, lalu berubah jadi api terbang
Aku tak begitu lihai menatapnya, dia hilang begitu saja

Tetes selanjutnya menetes dikegelapan, saat para nokturnal mulai terbangun
Aku tak tahu pasti, dia hilang atau kembali ke dalam mataku

Tetes terakhir serupa racun, meng-ungu, menetes diatas telapak tanganku
Tapi segera aku jilat agar kembali kehatiku.

Urat dinadiku lalu sembuh, menyatu tanpa bekas luka
I should try to call you once
When I still had time in my life
Seeing you gone like wind
Like a breeze in my body's parts

You have been good to me
I give you love and you give me smile
Like when we back in time
A memory in January

When it comes to my mind
When you hug me behind my ride
I give you my love
You give me goodbyes

I will be back to January
When time of us is a victory
But in time, it just a memory
A memory of January

"A sad song and goodbye were played and then we both fall in tears"

Followers

Total Pageviews